Pada dasarnya, identiti merupakan perkara yang tidak boleh dinafikan dalam proses kewujudan manusia, baik secara individu mahupun kolektif kerana daripadanyalah sumber dari makna, persaudaraan, dan pengalaman secara multidimensi berasal. Tambahan pula, menurut Manuel Castells dalam bukunya The Power of Identity, dijelaskan bahawa identiti itu terbentuk daripada proses sejarah yang amat panjang sehingga semakin mengukuhkannya sebagai bahagian yang tidak terpisah.
Dalam konteks politik, penggunaan identiti memang sukar dipisahkan. Malah, menurut Amy Gutmann dalam tulisannya bertajuk “The Good, the Bad, and the Ugly of Identity Politics”, dinyatakan bahawa parti politik itu sendiri merupakan sebahagian daripada kelompok identiti yang menyatukan penyokongnya menggunakan pelbagai platform identiti daripada suku, agama, isu, sehingga ideologi. Secara amnya, penggunaan identiti dalam konteks politik ibarat pedang bermata dua. Maksudnya, kesannya bergantung pada cara kelompok itu menggunakan identiti untuk mencapai dan mempertahankan matlamat mereka.
Jadi jika ada anggapan bahawa politik identiti tidak semestinya negatif boleh jadi benar . Lebih-lebih lagi, jika kita meneliti kembali sejarah perjuangan golongan tertindas; politik identiti memainkan peranan yang amat penting dalam membakar semangat perjuangan, memudahkan ekspresi kolektif, dan mengukuhkan mobilisasi. Begitulah penegasan Deborah J. Yashar dalam tulisannya bertajuk Resistance and Identity Politics in an Age of Globalization.
Politik Machiavellian ialah pendekatan politik yang berpandukan idea-idea Niccolò Machiavelli, di mana kuasa dan kestabilan pemerintah diutamakan melalui tindakan pragmatik, manipulatif, dan kadangkala tidak bermoral maka politik identiti boleh mengundang padah bagi perpaduan apalagi politik identiti dibangun dari kebohongan, Linkin Park pernah mengingatkan pasal keterpecahan masyarakat ini dalam lagu “New Divide”, dalam liriknya ” let it be enough to reach the truth that lies across this new divide”, dijelaskan pada satu titik, ketika penindasan kelas penguasa terhadap rakyat menjadi dosa yang tak terampuni, utamanya sampai menggunapakai identitik maka akan memecah belah tanah air.
Politik Identiti di Tangan Pemimpin Machiavellian
Kita harus faham ketika pemimpin Machiavellian percaya bahawa tujuan harus menghalalkan cara , seperti menggunakan tipu daya, ketakutan, atau kekerasan, adalah sah selagi ianya membolehkan mereka mempertahankan kawalan. Dalam konteks inilah politik identiti menjadi negatif, dimana identity seringkali dimanipulasi oleh pihak tertentu untuk memperkukuh kuasa dengan membangkitkan perasaan prejudis perkauman atau ekstrimisme.
Dengan memperbesarkan perbezaan identiti seperti etnik, agama, atau budaya para pemimpin politik boleh mencipta “musuh” khayalan untuk menyatukan penyokong mereka atau mengalihkan perhatian daripada kegagalan pentadbiran. Kondisi ini mencipta polarisasi sosial yang memecahkan masyarakat dan membolehkan penguasa kekal berkuasa melalui strategi “pecah dan perintah”, yang selari dengan etika Machiavellian yang menggunakan identiti semata-mata untuk nafsu politiknya sendiri tanpa begitu mengambil berat tentang nasib identiti yang diperjuangkan.
Kalau sudah macam itu, maka benarlah dengan apa yang ditulis Taiwo dalam bukunya berjudul Elite Capture, yang membahas tentang kebingungan penggunaan konsep identitas dalam budaya politik Amerika dimana para elite pada akhirnya mengambil kendali atas manfaat yang diperuntukkan bagi semua orang, akibatnya sesama rakyat lebih sibuk dengan konflik terhadap mereka yang berbeda identiti tanpa melawan penindas sebenar, lalu bagaimana caranya agar kita tidak dipermainkan oleh politik identiti.
Mengatasi keterjebakan politik identiti
Di tengah masyarakat multikultural seperti Indonesia dan Malaysia,permasalahan dalam literasi politik dan rentan terjebak budaya “Amok”, politik identitas seringkali menjadi pembakar konflik horizontal . Lalu, kita harus apa dan bagaimana untuk mengantisipasi politik identitas yang justru merusak ? Bertanya pada rumput yang bergoyang apalagi berjoget ria sembari memperindah POLITIK IDENTITAS bukanlah sebuah solusi, apalagi jika lari dari permasalahan yang di timbulkan oleh politik identitas.
Dalam tulisan sederhana ini, kami menawarkan tiga cara mengatasi politik identitas yang berangkat dari pembacaan terhadap beberapa literasi terkait politik identitas:
Yang pertama anggaplah politik itu sebagai permainan yang temponya sesaat dan geraknya pun tidak dogmatis. Dogmatis sendiri artinya sikap yang kaku terhadap suatu hal tertentu tanpa adanya kritik dan pertanyaan, dalam konteks agama terutama pada sisi keyakinan akan Tuhan dan ajarannya yang esensial yang dogmatis bisa dibenarkan namun bergerak keranah penafsiran tanpa adanya kritisme yang justru terjadi adalah keterjebakan dengan kemungkinan laku yang jauh dari agama itu sendiri.
Dalam konteks politik ,kita mesti melihat politik dengan proposisi “Les extremités se touchent” yang awalnya memperlihatkan kesatuan yang saling bertentangan tapi ujung-ujungnya bersatu. Baik di Indonesia dan Malaysia kita akan dapati realiti tentang kekuatan politik yang dahulu bermusuhan tapi hujungnya bersatu, dikata itu sebagai hipokrit memang pun benar tetapi begitulah politik.
Untuk point pertama, saya bersepakat dengan petuah Mbak Tejo, Presiden Republik Jancukers, seorang sasterawan negara Indonesia itu ketika di wawancarai oleh media indonesia pada September 2020, yang mengatakan jika kita tidak menyadari dalam konteks pilihan raya, persoalan politik hanyalah permainan yang hasilnya sulit di prediksi namun pemainnya akan bermain lagi dan lagi. Apalagi politik di Indonesia tidak memperlihatkan konsistensi beroposisi dari pusat hingga daerah, sehingga partai atau kelompok politik yang berseteru di level pusat bisa jadi damai di level daerah bahkan pada momentum tertentu para elitenya akan menjadi satu gerbong sementara para pengikutnya ditinggal kisruh
Yang kedua, rawatlah kesadaran dan tindakan berdasarkan adab dan ilmu , persoalan ini tidak bisa di hilangkan jika kita ingin masyarakat kita mencapai tujuannya yang paripurna. Karena adab sifatnya melengkapi ilmu. Adab adalah kondisi ketaatan pada keutamaan norma, dan ilmu adalah perkembangan kemajuan pengetahuan dan teknologi.
Dalam kemajuan berpikir dan kemampuan mencipta teknologi itulah ada kebutuhan akan keutamaan dalam karakter bagi manusia dari sisi adab dan ilmu. Tanpa karakter adab dan ilmu yang kuat dari hasil dari pembiasaan (habituasi) maka akan ada kerusakan dan pengrusakan yang massif.
Yang ketiga, kritis dan skeptis terhadap apa yang terbaca, terdengar, maupun terlihat di dunia digital. Setahun lalu , sahabat karib saya yang bernama Elvin Talishinsky Bahruz dari Universitas Azerbaijan menulis sebuah artikel bagus berjudul Manipulation as a form of information-psychological war (2019) mengatakan jika politik identitas yang menyulut permusuhan selalu bermula dari dunia digital, kita mengenal istilah Buzzer atau digital troops dari penguasa yang sebenarnnya adalah propagandis yang untuk tujuan agitasi dan propaganda terhadap isu-isu yang dimunculkan oleh masyarakat sipil yang sadar Elvin, menggunakan istilah manipulasi dan perang psikologis yang bagi saya amat menarik karena faktanya isu sara seringkali di manipulasi sedemikian rupa oleh para buzzer untuk menciptakan stigma yang kemudian memantik kebencian.
Dalam risetnnya, Alvin berkesimpulan hanya kesadaran politis dan bertingkah laku yang rasional di ruang mayalah yang dapat menyelamatkan kita dari manipulasi yang diciptakan oleh para buzzer itu . perihal yang digital ini, kita tidak akan mungkin menolak sepenuhnya namun yang bisa kita lakukan adalah membangun kesadaran yang adaptif , reflektif, dan kritis agar tidak terlempar dari pusaran perubahan namun juga tidak mudah ikut-ikutan dengan jebakan yang diciptakan oleh perubahan itu sendiri.
(Tulisan ini adalah pendapat peribadi penulis dan tidak semestinya mencerminkan pendirian filsufi.my)