“Jika dia bukan saudaramu dalam agama (tidak seiman), maka dia adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”
-Ali bin Abi Thalib
Dengan ditangkapnya para aktivis kemanusiaan Global Sumud Flotilla, apa yang berlaku di Gaza bukan lagi soal agama melawan agama, melainkan kisah manusia berdiri melawan raksasa. Raksasa bengis bernama Zionisme, sebuah ideologi yang lahir dari luka diaspora, tetapi kini menjelma mesin penindasan yang melumat manusia lain demi ilusi tanah yang dijanjikan. Raksasa ini bukan sekadar sebuah negara, melainkan sebuah rezim yang dibangun atas dasar pengusiran, perampasan, dan penghancuran sistematik.
Zionisme berdiri dengan narasi agama, tetapi paradoksnya ia melanggar inti ajaran agama itu sendiri. Kitab suci yang seharusnya mengajarkan belas kasih dan keadilan telah dimanipulasi menjadi dalil perampasan tanah dan dalih penindasan. Inilah ironinya: agama yang sepatutnya mengajarkan moral dan kedamaian, menjadi instrumen politik untuk menghalalkan genosida dan pembersihan etnik.
Namun jika kita menyingkap lebih dalam, persoalan Palestin bukanlah semata-mata konflik agama. Di jalanan Gaza, darah yang tumpah bukanlah pertumpahan antara Yahudi dan Muslim, tetapi antara mesin ketenteraan berteknologi tinggi melawan manusia yang hanya bersenjatakan batu. Ia adalah soal ketidakadilan global: sebuah bangsa yang dikepung, diblokade, dan dilucutkan kemanusiaannya, sementara para pemimpin dunia yang kononnya bertamadun memilih berdiam.
Sebab itu saya begitu terkesan dengan usaha murni Global Sumud Flotilla yang mengumpulkan aktivis, doktor, pelayar dan berbagai lagi latar belakang dari 44 buah negara. Bayangkan, 44 buah negara dan kebanyakkannya bukan negara Islam. Greta Thunberg, Rima Hassan, Thiago Avila, Cele Fierro, sekadar menyebutkan beberapa aktivis kemanusiaan yang menjadi muka depan. Tidak lupa juga para aktivis negara kita dari Sumud Nusantara. Kapal-kapal Global Sumud Flotilla menjelma simbol. Ia membawa bukan hanya bantuan, tetapi juga martabat. Kapal itu diserang, disekat, kerana bagi rezim Zionis, apa pun bentuk solidariti harus dipatahkan, meskipun tindakan jijik itu secara terang-terangan adalah pelanggaran undang-undang laut antarabangsa. Rezim ini memahami bahawa solidariti lintas bangsa, agama, dan benua adalah ancaman yang lebih berbahaya daripada peluru berpandu kerana ia menggoncang legitimasi moral mereka.

Istilah Sumud dalam bahasa Arab bermaksud “keteguhan” atau “ketabahan”. Ia adalah konsep falsafah yang melangkaui sekadar strategi politik. Ia adalah sikap eksistensial. Sumud menegaskan bahawa meskipun tubuh boleh ditawan, jiwa tidak akan tunduk. Seperti dalam pemikiran Albert Camus tentang “rebel man”. Manusia yang melawan kerana menolak untuk membiarkan keabsurdan hidup menghapuskan maruahnya. Begitu juga Hannah Arendt yang menekankan pentingnya tindakan kolektif (action) sebagai ruang untuk menegaskan kebebasan. Para aktivis yang ditangkap sebenarnya sedang mempraktikkan falsafah itu; mereka menolak untuk sekadar menjadi penonton sejarah. Mereka mungkin bukan orang-orang besar yang duduk di kerusi empuk persidangan diplomatik, namun bagi saya mereka lebih dari itu. Mereka adalah orang-orang kecil yang lahir dari rahim para pemberani dan pemberontak.
Ya, Flotila itu hanyalah kapal kecil, tetapi di dalamnya terkandung gagasan besar tentang kemanusiaan, keteguhan, dan solidariti. Mungkin inilah sebabnya, setiap kali kita melihat gambar para aktivis yang ditangkap, kita sebenarnya sedang melihat refleksi diri kita sendiri, sejauh mana kita berani untuk sumud di hadapan penindasan. Dan apakah kita akan membiarkan raksasa itu terus gagah di atas panggung peradaban yang kontang kemanusiaan?
(Tulisan ini adalah pendapat peribadi penulis dan tidak semestinya mencerminkan pendirian filsufi.my)